Dalam interaksi muslim dengan
non-muslim atau kepercayaan yang berbeda, Islam memiliki dua konsep penting;
toleransi dan berdakwah. Toleransi (samahah) merupakan ciri khas
dari ajaran Islam. Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa
ikraaha fi al-dien (tidak
ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam
Islam. Dakwah dalam Islam bersifat mengajak, bukan memaksa. Dari kaidah inilah
maka ketika non-muslim (khususnya kaum dzimmi) berada di tengah-tengah umat
Islam atau di negara Islam, maka mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam bahkan
dijamin keamanannya karena membayar jizyah sebagai jaminannya.
Toleransi antarumat beragama dalam
muamalah duniawi, Islam menganjurkan umatnya untuk bersikap toleran,
tolong-menolong, hidup yang harmonis, dan dinamis di antara umat manusia tanpa
memandang agama, bahasa, dan ras mereka. Dalam hal ini Allah berfirman (yang
artinya), “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu
dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”
(QS
Al-Mumtahanah: 8-9).
Imam al-Syaukani dalam Fath
al-Qadir menyatakan
bahwa maksud ayat ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik kepada kafir
dzimmi, yaitu
orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari
peperangan dan tidak membantu orang kafir lainnya dalam memerangi umat Islam.
Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak melarang bersikap adil dalam
bermuamalah dengan mereka. Kafir dzimmi itu dilindungi
karena taat pada kepemimpinan Islam dan tidak menyebarkan kesesatan kepada umat
Islam. Bahkan umat Islam dilarang mendzalimi ahl al-dzimmi ini.
Berbuat baik dan bersikap bijak dengan ahl
al-dzimmi
tidak menghalangi Islam untuk berdakwah. Mereka tetap kita dakwahi, tapi bukan
bersifat memaksa. Namun tidak ada kompromi terhadap penyimpangan agama,
penistaan atau pencampuradukkan agama atas nama toleransi. Jika ada
penyimpangan dan penistaan – yang bisa memancing konflik sosial – Islam segera
mencegahnya, tidak boleh dibiarkan, seperti yang telah dilakukan oleh Nabi SAW
dan Abu Bakar dalam keterangan di atas.
Adapun keikutsertaan seorang Muslim
dalam ritual non-Muslim termasuk dalam kategori tolong-menolong dalam
kebatilan, dosa, dan sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Ini bukan toleransi
tapi bentuk sinkritisme. Allah berfirman (yang artinya), “Dan
janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu
sembunyikan yang haq itu, sedangkan kamu mengetahui” (QS Al-Baqarah: 42).
Imam al-Thabari menukil penjelasan Imam Mujahid (murid Ibnu Abbas) mengenai
maksud ayat “Dan janganlah kamu campuradukkan yang
haq dengan yang batil” adalah mencampuradukkan ajaran Yahudi dan Kristen dengan
Islam.
Sekarang
yang harus dipahami bersama, baik umat Islam atau umat non-muslim, Islam
menjamin kebebasan beragama dan mengakui kemajemukan. Tempat ibadah non-muslim
dan kepercayaan aliran lain tidak boleh diganggu. Islam juga terbuka membuka
dialog-dialog cerdas. Namun, jika ada aktifitas dan gerakan publik menista
kesakralan, aparat harus bertindak tegas. Sebab, masing-masing agama memiliki
nilai kesakralan yang jika diusik memantik emosi pengikutnya. Segala bentuk
penodaan dan pelecehan nilai-nilai sakral mestinya dilarang, apalagi jika
digelar secara publik. Pengikut dari agama yang dinodai jelas memiliki hak
untuk melakukan pembelaan.