Minggu, 20 Mei 2012

Kebebasan yang Benar


Dalam interaksi muslim dengan non-muslim atau kepercayaan yang berbeda, Islam memiliki dua konsep penting; toleransi dan berdakwah. Toleransi (samahah) merupakan ciri khas dari ajaran Islam. Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam Islam. Dakwah dalam Islam bersifat mengajak, bukan memaksa. Dari kaidah inilah maka ketika non-muslim (khususnya kaum dzimmi) berada di tengah-tengah umat Islam atau di negara Islam, maka mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam bahkan dijamin keamanannya karena membayar jizyah sebagai jaminannya.
Toleransi antarumat beragama dalam muamalah duniawi, Islam menganjurkan umatnya untuk bersikap toleran, tolong-menolong, hidup yang harmonis, dan dinamis di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan ras mereka. Dalam hal ini Allah berfirman (yang artinya), “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al-Mumtahanah: 8-9).
Imam al-Syaukani dalam Fath al-Qadir menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik kepada kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari peperangan dan tidak membantu orang kafir lainnya dalam memerangi umat Islam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak melarang bersikap adil dalam bermuamalah dengan mereka. Kafir dzimmi itu dilindungi karena taat pada kepemimpinan Islam dan tidak menyebarkan kesesatan kepada umat Islam. Bahkan umat Islam dilarang mendzalimi ahl al-dzimmi ini.
Berbuat baik dan bersikap bijak dengan ahl al-dzimmi tidak menghalangi Islam untuk berdakwah. Mereka tetap kita dakwahi, tapi bukan bersifat memaksa. Namun tidak ada kompromi terhadap penyimpangan agama, penistaan atau pencampuradukkan agama atas nama toleransi. Jika ada penyimpangan dan penistaan – yang bisa memancing konflik sosial – Islam segera mencegahnya, tidak boleh dibiarkan, seperti yang telah dilakukan oleh Nabi SAW dan Abu Bakar dalam keterangan di atas.
Adapun keikutsertaan seorang Muslim dalam ritual non-Muslim termasuk dalam kategori tolong-menolong dalam kebatilan, dosa, dan sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Ini bukan toleransi tapi bentuk sinkritisme. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedangkan kamu mengetahui” (QS Al-Baqarah: 42). Imam al-Thabari menukil penjelasan Imam Mujahid (murid Ibnu Abbas) mengenai maksud ayat “Dan janganlah kamu campuradukkan yang haq dengan yang batil” adalah mencampuradukkan ajaran Yahudi dan Kristen dengan Islam.
Sekarang yang harus dipahami bersama, baik umat Islam atau umat non-muslim, Islam menjamin kebebasan beragama dan mengakui kemajemukan. Tempat ibadah non-muslim dan kepercayaan aliran lain tidak boleh diganggu. Islam juga terbuka membuka dialog-dialog cerdas. Namun, jika ada aktifitas dan gerakan publik menista kesakralan, aparat harus bertindak tegas. Sebab, masing-masing agama memiliki nilai kesakralan yang jika diusik memantik emosi pengikutnya. Segala bentuk penodaan dan pelecehan nilai-nilai sakral mestinya dilarang, apalagi jika digelar secara publik. Pengikut dari agama yang dinodai jelas memiliki hak untuk melakukan pembelaan.