Senin, 14 Mei 2012

Sejarah Mazhab Qadariah

Mereka adalah golongan yang menyatakan perbuatan itu daripada hamba bukannya daripada Allah. Fahaman ini muncul apabila mereka menyeleweng hadis Nabi Muhammad yang berpesan supaya jangan terlalu banyak membicarakan mengenai qada’ dan qadar sehingga dipengaruhi oleh syaitan. Apa yang dipesan oleh Nabi Muhammad itu benar. Selepas Nabi Muhammad meninggal dunia, sebahagian kecil umat Islam membincangkan perkara itu lalu mereka dipengaruhi oleh anasir-anasir bukan Islam. Faktor lain yang mempengaruhi pemikiran umat Islam adalah hasil percampuran umat Islam dengan umat lain dan galakan menterjemahkan buku-buku asing tanpa batasan. Menurut para sarjana sejarah Islam, antara orang pertama yang menimbulkan fahaman Qadariah adalah: Ma’abad al- Juhani Al-Zahabi menyebut di dalam bukunya Mizan al-Iktidal, pada peringkat awal, Ma’abad adalah sarjana tabiin yang dipercayai. Namun, dia membawa ajaran yang terpesong kerana menjadi orang yang pertama menyeleweng mengenai qadar. Ghilan al-Dimasyqi Dia mengikut fahaman ini dan meneruskan penyebarannya selepas Ma’abad iaitu pada zaman Umar bin Abdul Aziz. Mendengar fahaman Ghilan, kalifah Umar memanggilnya supaya berdebat dengan Imam al-Auza’ i. Akhirnya dia menyerah kalah dan berkata kepada khalifah, “Wahai Amirul Mukminin, saya datang dalam keadaan sesat lalu kamu menunjukkan kepada saya jalan yang benar. Saya datang dalam keadaan jahil lalu kamu mengajar saya, demi Allah saya tidak mahu bercakap lagi perkara itu.” Namun, selepas khalifah Umar meninggal dunia, dia kembali semula menyebarkan ajarannya. Khalifah Hisyam bin Abdul Malik memanggilnya supaya berdebat dengan Imam al-Auza’i. Kali yang kedua dia menyerah kalah. Walau bagaimanapun, dia berdegil menyebarkan ajarannya. Dengan berani dia berkata, “Qadar baik dan jahat itu daripada hamba.” Akhirnya, khalifah Hisyam memerintah supaya dia ditangkap dan dijatuhkan hukuman bunuh. Fahaman ini tidak mati dengan matinya Ghilan. Ia masih terus disebarkan di tengah-tengah masyarakat Islam dan berkembang bebas. Ibnu Nabatat menyebut dalam bukunya Syarah al-Ubun, “Orang yang pertama bercakap dengan fahaman Qadariah adalah orang Nasrani yang memeluk agama Islam dari negeri Iraq. Kemudian dia murtad (keluar Islam) dan kembali pada agama Nasrani.

mengapa tuhan menamai agama

Mengapa Tuhan menamai agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW dengan agama Islam? Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari akar kata salima yang berarti selamat, damai, dan bebas. Akar kata yang sama melahirkan beberapa kata yang amat penting dalam Islam, seperti salam (damai), Islam (kedamaian), istislam (pembawa kedamaian), dan taslim (ketundukan, kepasrahan, dan ketenangan). Allah SWT memberi nama agama yang dibawa oleh Nabi SAW itu dengan agama Islam. Bukan agama salam (kepasrahan tanpa konsep) atau agama istislam (yang lebih mengutamakan kecepatan dan ketegasan dalam memperjuangkan kedamaian dan kepasrahan). Kata Islam itu sendiri mengisyaratkan jalan tengah atau moderat. Dari segi bahasa saja, Islam sudah mengisyaratkan jalan tengah, moderat, dan tentu menolak kekerasan. Seorang Muslim sejatinya mengedepankan kedamaian, ketundukan, kepasrahan, dan pada akhirnya mengejawantahkan ketenangan lahir batin. Agaknya kurang pas jika panji-panji Islam dibawa-bawa untuk sesuatu yang menyebabkan lahirnya kekacauan dan ketidaknyamanan. Apalagi jika nama Islam digunakan untuk melayangkan nyawa-nyawa orang yang tak berdosa. Sesuai dengan namanya, Islam adalah agama kedamaian dan agama kemanusiaan. Penggunaan kata Islam dalam Alquran dan hadis sesungguhnya lebih dominan sebagai feminine word ketimbang masculine word. Alquran sendiri lebih menonjol sebagai the feminine book ketimbang the masculine book. Bahkan, Alquran melukiskan Allah lebih menonjol sebagai The Mother God ketimbang sebagai The Father God. Perhatikan, Alquran selalu mengawali surah dengan kalimat Bismillah al-Rahman al-Rahim yang berarti Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini menggambarkan bahwa Allah lebih menonjolkan Dirinya sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kini, yang menjadi masalah, mengapa kelompok minoritas Muslim begitu leluasa mengklaim diri dan gerakannya sebagai gerakan Islam, sementara kelompok mainstream Muslim tidak berani menyuarakan kelompok mayoritas. Kini, sudah saatnya mayoritas Muslim bicara dalam upaya menciptakan stabilitas dunia dan umat manusia. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah minoritas Islam moderat lebih menekankan Islam dalam konteks salam, yang lebih bersifat substansial dan universal. Sementara itu, kelompok minoritas Islam radikal lebih menekankan Islam dalam konteks istislam yang menuntut adanya intensitas dan semangat akseleratif dalam mewujudkan nilai-nilai dasar Islam. Kelompok mayoritas Islam lebih menekankan Islam konteks Islam yang menekankan aspek kemanusiaan manusia.