Minggu, 13 Mei 2012

filsafat ekonomi islam

Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI Dari fondasi ini muncul 10 prinsip derivatif sebagai pilar ekonomi Islam Pembahasan komperhensif mengenai prinsip-prinsip ini selanjutnya akan dijelaskan secara lebih detail di bawah ini: 1. Tauhid Tauhid merupakan fondasi utama seluruh ajaran Islam. Dengan demikian Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktivitas umat Islam, baik di bidang ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa tauhid merupakan filsafat fundamental dari ekonomi Islam. (39 : 38 ). Hakikat tauhid juga dapat berarti penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi, baik menyangkut ibadah maupun muamalah. Sehingga semua aktifitas yang dilakukan adalah dalam kerangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai kehendak Allah. Dalam konteks ini Ismail Al- Faruqi mengatakan, “ it was al- tauhid as the first principle of the economic order that created the first “ welfare state” and Islam that institutionalized that first socialist and did more for social justice as well as for the rehabilitation from them to be described in terms of the ideals of contemporary western societies”. {Tauhid sebagai prinsip pertama tata ekonomi yang menciptakan “negara sejahtera” pertama, dan Islamlah yang melembagakan sosialis pertama dan melakukan lebih banyak keadilan sosial. Islam juga yang pertama merehabilitasi (martabat) manusia. Pengertian (konsep) yang ideal ini tidak ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini}. Landasan filosofis inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme dan sosialisme, karena keduanya didasarkan pada filsafat sekularisme dan materialisme. Dalam konteks ekonomi, tauhid berimplikasi adanya kemestian setiap kegiatan ekonomi untuk bertolak dan bersumber dari ajaran Allah, dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan Allah dan akhirnya ditujukan untuk ketaqwaan kepada Allah. Konsep tauhid yang menjadi dasar filosofis ini, mengajarkan dua ajaran utama dalam ekonomi. Pertama, Semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Manusia hanya sebagai pemegang amanah (trustee) untuk mengelola sumberdaya itu dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan manusia secara adil. Dalam mengelola sumberdaya itu manusia harus mengikuti aturan Allah dalam bentuk syariah. Firman Allah, “Kemudian kami jadikan bagi kamu syariah dalam berbagai urusan, maka ikutilah syariah itu. Jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tak mengetahui” (QS:1Al-Jatsiyah Salah satu contoh praktik ekonomi saat ini yang bertentangan dengan Tauhid adalah bunga. Bunga (interest) yang memastikan usaha harus berhasil (untung) bertentangan dengan tauhid. Firman Allah, “Seseorang tidak bisa memastikan berapa keuntungannya besok”,(Ar-Rum: 41). Padahal setiap usaha mengandung tiga kemungkinan, yaitu untung, impas atau rugi. Lebih dari itu, tingkat keuntungan itupun bisa berbeda-beda, bisa besar, sedang atau kecil. Jadi, konsep bunga benar-benar tidak sesuai dengan syariah, karena bertentangan dengan prinsip tauhid. Kedua, Allah menyediakan sumber daya alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia yang berperan sebagai khalifah, dapat memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam perspektif teologi Islam, semua sumber daya yang ada, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung ( tak terbatas ) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya “ Dan jika kamu menghitung – hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bisa menghitungnya”. ( QS. 14: 34 ) Berbeda dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional selalu mengemukakan jargon bahwa sumber daya alam terbatas ( limited ). Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis ekonomi yang dialami suatu negara, bukan karena terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga terwujud ketidakadilan sumber daya ( ekonomi ). Selanjutnya konsep tauhid ini mengajarkan bahwa segala sesuatu bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, termasuk dalam menggunakan sarana dan sumber daya harus disesuaikan dengan syariat Allah. Aktivitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi, ekspor – impor idealnya harus bertitik tolak dari tauhid (keilahian) dan berjalan dalam koridor syariah yang bertujuan untuk menciptakan falah dan ridha Allah. Seorang muslim yang bekerja dalam bidang produksi misalnya, maka itu tidak lain diniatkan untuk memenuhi perintah Allah. “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya kami dikembalikan”. (QS. Al-Mulk: 15). Demikian pula ketika berdagang, bekerja di pabrik atau perusahaan. Semuanya dalam bingkai ibadah kepada Allah. Makin tekun seseorang bekerja, makin tinggi nilai ibadah dan takwanya kepada Allah. Demikian gambaran seorang muslim yang menganggap bahwa pekerjaannya itu adalah ibadah kepada Allah. Aspek tauhid dalam produksi akan tercermin dari output yang dihasilkan. Seseorang yang berproduksi dengan nama Allah, maka barang yang diproduksi akan terjaga kebaikan dan kehalalannya. Sehingga mereka tidak akan memproduksi barang-barang yang membawa mudharat seperti rokok, miras apalagi narkoba serta barang-barang haram lainnya. Termasuk juga dalam proses produksi barang-barang halal. Tidak hanya dalam aspek produksi, aspek tauhid pun idealnya dimiliki seorang muslim yang hendak membeli, menjual, dan meminjam. Ia selalu tunduk pada aturan-aturan syariah. Ia tidak membeli atau menjual produk dan jasa-jasa haram, memakan uang haram (riba), memonopoli milik rakyat, korupsi, ataupun melakukan suap menyuap. Ketika seorang muslim memiliki harta dan ingin menginvestasikannya agar produktif, ia tidak akan menginvestasikannya secara ribawi di lembaga-lembaga finansial yang berbasis bunga. Ia juga tidak akan menggunakannya untuk bisnis spekulasi di pasar modal atau pasar uang (money changer dan bank devisa). Seorang muslim akan menginvestasikannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah seperti skim mudhabarah, musyarakah, dan bentuk investasi syariah lainnya. Prinsip konsumsi yang sesuai syariah salah satunya adalah tidak berlebih-lebihan, menjauhi israf (mubazzir). Perilaku tersebut dilarang dalam agama Islam. (QS.17:36) Meskipun sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah tidak boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros adalah perbuatan setan ( QS.17:27 ) dan serakah adalah perilaku binatang. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya haruslah dilakukan secara efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang serta memperhatikan lingkungan. Seorang muslim sejati, meskipun memiliki sejumlah harta, ia tidak akan memanfaatkannya sendiri, karena dalam Islam setiap muslim yang mendapat harta diwajibkan untuk mendistribusikan kekayaan pribadinya itu kepada masyarakat sesuai dengan aturan syariah. Masyarakat berhak untuk menerima distribusi itu. Kekayaan moral (akhlak) ekonomi Islam dalam kegiatan ekonomi sebagaimana yang digambarkan di atas tidak muncul dalam sistem ekonomi kapitalis yang berdasarkan mekanisme pasar. Karena menurut faham ini, ekonomi merupakan ranah yang bebas dari nilai-nilai, termasuk moral dan agama. Prinsip Tauhid sebagaimana dijelaskan pada bagian ini memiliki hubungan yang kuat dengan prinsip-prnsip ekonomi Islam yang lain, seperti keadilan, persamaan, distribusi dan hak milik sebagaimana dijelaskan pada bagian selanjutnya.

Telaah Kritis Metode Historis Solusi Umat

Krisis pemikiran umat

Islam kita ketahui saat ini bahwa umat Islam lemah dari segala bidang. Berbagai metode telah diterapkan untuk mencari jalan keluarnya akan tetapi belum manemui titik baru. Semua masih berkutat pada masalah historis atau tidak lain memandang bahwa metode historik adalah metode yang masih relevan  untuk digunakan pada saat ini.jika kita teliti lebih jauh lagi maka dapat kita temukan kelemahanan ketidak sesuain metode historis  dalam menyelesaikan problem umat sekarang ini. Sebelum membuat kerangka solusi yang efektif  yang  pertama harus melihat apa yang dibutuhkan umat sekarang ini.

Metode historis hanya berkutat pembahasan yang hanya sampai pada bidang wacana. Belum menyentuh pada aspek realistis problematika umat saat ini. Bisa kita ketahui dimana ada pemisahan gerak antara syariah (ulama) dan politik (intelek tual). Dimana keduanya mem punyai batas-batas untuk mengexplor pada  umat sehingga menyebabkan ketidak efektifan didalam upaya mencari solusi memecahkan problem umat saat ini.

Usul fiqh: sebagi produk syariah adalah suatu mnetode dalam rangka memecahkan problematika umat. Dalam kenyataanya metode ini menngalami perubahan dari masa ke masa. Karena tidak lain adalah untuk menyelerasikan keadaan masa itu. Produk ini dalah hasil ijtihad para ulama yang berpegah teguh atau atas dasar qur’an dan hadist, ijma’ ulama, qiyas. Tapi pada dasarnya metode ini dikembangkan oleh ulama pada masanya dan tentu cocok dengan  masanya. Yang menjadi perbedaan adalah masa dimana problematika umat dari masa kemasa mempunyai perubahan karena berbedanya waktu dan peradaban. Tujuan metode ini adalah untuk memecahkan problematika umat. Dalam hal ini maka usul fiqh sebagai produk  syariah harus mampu menyelaraskan realitas kondisi saat ini dan usul fiqh hanya sebagi sumber rujukan yang mendasar bukan sebagai solusi.
Sebagaiman kita lihat bahwa metode historis memisahkan antara kepentingan politik (intelektual) dan syariah (ulama) dalam rangka memperbaiki umat. Akan tetapi ini justru membuat gerak umat semakin terbatas dan kebuntuan untuk mengexpresikan gagasan-gagasan atau ide-ide yang ada. Hal ini men gakibagkan ketidak adilan atau diskriminasi yang berdampak pada terbatasnya ide yang berakibat kemunduran ide dan tidak tercapainya solusi dalam kerangka yang efektif.
Politik dan syariah harus berjalan seiring yang mempunyai gerak konsentrasi tersendiri dalam artian tidak harus mengucilkan belah pihak. Dalam realitasnya memang ada ketidaksinambungan karena sifatnya. Akan tetapi melihat dari tujuanya keduanya mempunyai makna yang sama untuk kemaslahatan umat. Persamaan disini adalah sifat keterbukaannya dalam mengexplore dan mengaplikasikan kepada masyarakat umum.

Kebuntuan gagasan.
Semua manusia mempunyai akal sebagia tempat berfikir. Ketajaman akal manusia adalah   termasuk mukjizat dari Tuhan pencipta alam semesta. Ibarat sebuah pisau meskipun mempunyai sifat asal tajam, jika tidak pernah dirawat atau diasah maka sifat tajam tersebut akan hilang. Solusi sifatnya adalah obyektif selalu melihat kondisi dan kecocokan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Dampak negatif lahir dari solusi yang mana harus mampu mengurangi sekecil apapun. Dikatakan bahwa solusi yang efektif adalah yang mampu menstabilkan kemungkinan-kemungkinan yang negative.

Disinilah peran akal harus mampu melihat kedepan dengan sifat obyektif. Berfikir jauh kedepan dengan melihat kebelakang sebagai asas. Problematiaka umat dari masa ke masa mempunyai ketidaksamaan dan itu tidak pernah bisa terselesaikan dengan menjadiakan metode historis sebagai satu-satunya solusi. Karena akan membuat kebuntuan idea tau gagasan. Metode historis menjadikan tempat solusi dengan dalih bahwa teks yang ada itu sudah mampu menjawab persoalan yang ada. Akan tetapi permasalahanya adalah akal hanya terus berfikir kebelakang dan tidak akan melihat kedepan dan menjadikan umat ini kemunduran dari masa ke masa dan kehancuran umat itu disebabkan oleh dari diri sendiri.
Sebuah metode yang baik akan berdampak sifat positif. Kerangka harus dibuat efektif dengan mempertimbangakan dari segla aspek. Metode historik sebagai asas bukan solusi dengan sifat demokratis dan mampu mengexpresiakan gagasan-gagasan problematika umat. Berfikir jauh kedepan dengan pertimbangan-pertimbangan dampak negative dan positifnya. Kerangka jangka pendek dan jangka panjang mampu menstabilkan kondisi umat tidak mendiskriminasikan belah pihak dengan jalan musyawarah keterbukaan. Dengan didorong kesadaran setiap individu maka kemaslahatan dan kemajuan umat Islam akan terealisasikan.