Ir Soekarno mengatakan , “Di Bawah Bendera Revolusi” (1965),
Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah ’pemerintahan rakjat’. Tjara
pemerintahan ini memberi hak kepada semua rakjat untuk ikut memerintah. Tjara
pemerintahan ini sekarang menjadi tjita-tjita semua partai nasionalis
Indonesia. Tetapi dalam mentjita-tjitakan faham dan tjara pemerintahan
demokrasi itu, kaum Marhaen toch harus berhati-hati. Artinya: djangan meniru
sahaja ’demokrasi demokrasi’ yang kini dipraktekkan di dunia luaran….” Lebih
dari empat puluh tahun yang lalu “putra sang fajar” telah mengingatkan kepada
kita bahwa jangan hanya meniru sistem kerja seperti demokrasi yang dipraktekan
di dunia luar. Soekarno mempunyai pandangan bahwa demokrasi ala Eropa tidak
sesuai dengan kaum Marhaen di Indonesia. Demokrasi ala Eropa (demokrasi
parlemen) hanya demokrasi politik saja sementara demokrasi ekonomi tidak ada.
Soekarno menulis demokrasi politik saja belum menyelamatkan rakyat, oleha
karena harus cari alternatif demokrasi yang sesuai dengan bangsa Indonesia.
Berawal dari krisis multi dimensi, Indonesia kembali mencari demokrasi, setelah
demokrasi Pancasila yang disalah artikan dengan kekuasaan oleh rezim Orde Baru.
Pasca reformasi hingga saat ini Indonesia masih dibelenggu
oleh berbagai permasalahan yang tidak kunjung berakhir. Seperti yang disebutkan
oleh Deutser bahwa Indonesia dihadapi oleh empat masalah besar yaitu: pemulihan
ekonomi, transisi demokrasi dan reformasi politik, desentralisasi, serta
pendefinisian ulang atas identitas nasional. North berpendapat bahwa setiap
perubahan besar (big – bang) yang radikal berpotensi menyebabkan perubahan
dalam tatanan ekonomi dan politik. Apa yang terjadi di Indonesia adalah
perubahan dari suatu pekerjaan ekstrem ke keadaan ekstrem yang lain yang tidak
pernah menjanjikan. Akibatnya terjadi pergeseran yang radikal dari kekuasaan
yang terpusat menjadi tersebar. Pada saat yang sama perubahan yang radikal itu
tidak dapat mengatasi permasalahan pada masa transisi. Dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan bahwa kita belum menemukan bangunan pemerintah yang dapat
bekerja secara efektif dalam memecahkan masalah. Sejauh ini, institusional
set-up dalam disain demokrasi yang diterapkan di Indonesia yang lebih berhaluan
liberal, mengalami berbagai hambatan serius. Dalam kasus Indonesia, perubahan
itu belum menghasilkan institusi negara atau pemerintah yang efektif untuk
menyelesaikan permasalahan yang begitu kompleks. Pertama mengenai representasi
yang bermasalah (kasus DPD). Demokrasi tidak bisa dimajukan karena
lembaga-lembaga representasi yang berkualitas belum tersedia secara memadai.
Kedua partai politik sat ini cenderung oligarki. Yakni dalam tubuh partai itu,
pihak yang memiliki wewenang yang besar dalam organisasi hanya orang-orang sama
dan tertentu saja Pencapaian pada fase kedua tahapan reformasi justru
mengejutkan. Demokrasi yang kita selenggarakan ternyata belum mampu menjawab
problem bangsa ini secara signifikan, tepat, dan menyentuh akar masalah.
Mengutip pendapat Arie Sujito bahwa “kita belum memanen demokrasi sesungguhnya
untuk negara berkembang seperti Indonesia yakni: rakyat yang sejahtera, politik
yang demokratis, kekuasaan yang bebas KKN, demokratisasi hubungan sipil militer
dan penegakan hukum yang kokoh”. Hal ini disebabkan karena kecenderungan proses
demokratisasi di Indonesia hanya mengadopsi lembaga dan aturan main demokrasi
barat tapi penerapannya masih disesuaikan dengan kondisi setempat. Seringkali
relasi kekuasaan antara aktor politik tidak didasarkan atas faktor strategis
rasional tapi diselubungi oleh faktor-faktor lain, seperti primordial
(etnisitas), relijiusitas, dan sebagainya. Alasan ini diperkuat oleh L.H.M Ling
dan Chih-yu Shih bahwa : “Demokrasi di Asia Tenggara adalah produk yang
bercampur antara nilai lokal dan nilai demokrasi liberal. Asia Tenggara
meminjam institusi dan norma politik Barat tapi penerapannya berdasarkan
kondisi lokal. Implikasinya, negara mengatur banyak hal, teknokratis, dan
mengatur diskursus politik di masyarakat. (Ling dan Shih, 1998 : 1)
Namun yang menjadi persoalan adalah ketika demokrasi itu
tidak diikuti oleh pemerataan hasil pembangunan ekonomi dan kesejahteraan maka
akan menjadi bumerang, karena pertumbuhan ekonomi susah dicapai dan akhirnya peciptaan
lowongan kerja yang baru sangatlah minim dimana hampir dapat dikatakan negatif.
Sebab transisi demokrasi di Indonesia dihadapkan pada masalah sosial dan
ekonomi yang akut. Bukankah tujuan kita memilih demokrasi sebagai sistem
sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles adalah untuk good life. Kalau
begitu apakah demokrasi merupakan sistem yang paling terbaik di dunia?
Demokrasi hanya sekedar menawarkan peluang bukan kepastian atau jaminan
keberhasilan. Lalu bagaimana dengan nasib demokrasi kita pasca reformasi?
Nampaknya kita mulai dijangkiti penyakit kegamangan demokrasi yang dapat
berujung pada frozen Democracy. Apa itu frozen democracy? George Sorensen
memperkenalkan konsep demokrasi beku yang menggambarkan kondisi masyarakat
dimana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena
berbagai kendala yang ada. Proses demokrasi mengalami pembusukan dikarenakan
ketidak mampuan pemerintah yang berkuasa melakukan perubahan sosial, politik,
dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan reformasi, terutama yang
menyangkutr kepentingan dan perbaikan nasib masyarakat miskin. John Markoff
dalam bukunya Gelombang Demokrasi Dunia (2002) menyebutkan empat indikator yang
mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku yaitu: kondisi perekonomian yang
tak kunjung membaik, mandeknya pembentukan masyarakat sipil, konsolidasi sosial
politik yang tak pernah mencapai soliditas, dan penyelesaian sosial politik
hukum masa lalu yang tak kunjung tuntas. Bukan bermaksud mengadili tapi
nampaknya apa yang disebutkan John Markoff rupanya sedang terjadi di Indonesia.
Pasca reformasi kondisi perekonomian makin tidak menentu, pengangguran dan
orang miskin semakin banyak.
Masyarakat sipil tumbuh tetapi tidak disertai dengan
ketertiban sosial dan keberadaban masyarakat. Kebebasan sipil yang dijamin
konstitusi tidak punya arti bagi kelompok minoritas. Rupanya apa yang menjadi
kekhawatiran bagi Fareed Zakaria (editor News week International) menjadi
relevan. Demokrasi menjadi tidak liberal. Kebebasan politik mendapat tempat,
tetapi kebebasan sipil (civil liberties), khususnya kebebasan beribadah
kelompok minoritas, justru terancam (baca kasus ahmadiyah). Alih-alih
mengharapkan terjadi konsolidasi, yang terjadi malah fragmentasi dikalangan
elite. Hal ini tercermin dari model pemberantasan korupsi “tebang pilih” yang
sarat dengan kepentingan dikalangan elite politik. Problem politik dan hukum
dimasa lalu masih menyandera bangsa Indonesia (kasus Alm soeharto).
Penyelesaian masalah hukum yang melibatkan aktor-aktor dimasa orde baru yang
terlibat korupsi dan melanggar HAM mengalami kebuntuan. Aktor-aktor yang turut
mencicipi lezatnya kue pembangunan sedang asik mencuci tangan. Mengacu pada
empat indikator di atas boleh jadi Indonesia sedang menuju ke arah demokrasi yang
beku. Demokrasi yang tidak memberi makna apa – apa bagi bangsanya. Ketika
demokrasi dihadapkan pada berbagai masalah seperti kemiskinan, pengangguran dll
maka pilihan terhadap demokrasi disalahkan. Lalu apa yang salah dengan
demokrasi Indonesia? Apakah sistem demokrasi kita benar-benar lamban dalam
merespons terhadap isu-isu yang ada atau kelambanan itu memang berasal dari
para aktor-aktor atau elite yang jumlahnya tidak melebihi dari penonton
sepakbola. Perilaku politik elit menjadi variabel yang signifikan dalam
menjelaskan transisi ke demokrasi. Bahwa tumbuhnya demokrasi sangat dipengarubi
oleh kemampuan para politisi atau elit untuk menghasilkan reformasi ekonomi dan
inovasi kelembagaan dalam rangka mengatasi kendala lingkungan struktural yang
ada Lucian W Pye meyakini bahwa demokratisasi akan sangat ditentukan oleh
keberadaan politisi populer yang merupakan elit dalam suatu kekuatan masyarakat
politik. Politisi populer ini menjadi the critical key to democracy karena
merekalah yang menjalankan fungsi artikulasi dan pengelompokan kepentingan
masyarakat serta memfasilitasi modernisasi dan demokratisasi sehingga dapat
menghindarkan ketegangan maupun konflik di masyarakat Robert Dahl dalam buku On
Democracy (1999) menyebutkan persyaratan penting bagi demokrasi, antara lain
pengawasan militer/polisi oleh pejabat sipil, keyakinan demokrasi dan
kebudayaan politik, serta tidak ada kontrol asing yang memusuhi demokrasi.
Mengutip pendapat Jack Snyder dalam buku Dari Pemungutan
Suara ke Pertumpahan Darah (2003), bahwa “demokrasi Indonesia belumlah matang”.
Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia yang dipresentasikan pada Mei
2006 mengonfirmasi keraguan orang akan demokrasi. Survei itu menunjukkan
pandangan: demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik mencapai 72 persen.
Padahal, di negara demokrasi yang sudah mapan dukungan terhadap demokrasi
sebagai sistem terbaik rata-rata 84 persen. Pada tahun yang sama hanya 62
persen responden yang puas dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Untuk
menjalankan sistem politik demokrasi dibutuhkan sosok yang mampu mengarahkan ke
mana demokrasi akan dibawa. Yaitu seorang yang mempunyai pemahaman mengenai
demokrasi, visi yang benar mengenai demokrasi, memiliki cara komunikasi politik
yang penuh empati, serta mempunyai kecerdasan akademik dan emosional untuk
membawa Indonesia ke dalam sistem politik demokratis. Demokrasi bukan hanya
untuk demokrasi, tetapi demokrasi untuk good life. Apa yang menjadi cita-cita
seperti yang tertera pada Pembukaan UUD 1945 itu harus dicapai dengan jalan
demokrasi. Karena demokrasi bukan sekedar masalah kebebasan dan prosedur
melainkan substansi. Kalau begitu apakah Indonesia butuh demokrasi? Mari kita
refleksikan bersama!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar