Selasa, 22 Mei 2012

Islam dan Ekonomi Rakyat

Oleh: Abdurrahman Wahid

Dalam beberapa dasa warsa yang lalu, diajukan oleh berbagai pihak sebuah gagasan tentang ekonomi rakyat. Di samping itu, beberapa pemikir Islam mengajukan apa yang mereka namakan “ekonomi Islam”, yang sepintas lalu mengandaikan adanya tatanan ekonomi yang terlepas dari bangunan ekonomi yang selama ini dikenal orang. Ini dapat dimengerti, karena dua sebab. Pertama, karena tata ekonomi yang ada waktu itu sepenuhnya di dasarkan pada asumsi-asumsi materialistik, hingga tata ekonomi yang dihasilkannya pun bersifat sekuler. Dengan demikian, yang melawannya pun harus memiliki acuan spiritual, dengan begitu diajukanlah “ekonomi Islam” sebagai sesuatu yang samawi (memiliki kebenaran langit), yang menjadikannya sesuatu yang sama sekali tidak praktis bagi kehidupan.

Sebab kedua, tata “ekonomi rakyat” waktu itu, memiliki pengertian tata ekonomi yang dibangun atas dasar asumsi-asumsi komunistik, yang berarti juga ekonomi sekuler. Dengan penyifatan “ekonomi Islam” sebagai tatanan yang tidak membumi, dan “ekonomi rakyat” yang bersifat komunistik, maka dengan sendirinya “ekonomi Islam” itu dijauhkan dari istilah dari “ekonomi rakyat”. Karenanya, dua terminologi itu berjauhan satu dari yang lain, kalau tidak dikatakan bertentangan atau justru bermusuhan. Di satu pihak, orang tidak mau mengakui dasar spiritual dari sebuah teori ekonomi; dan di pihak lain, orang menolak gagasan “ekonomi rakyat”.

Kini, globalisasi yang disalah-artikan sebagai penguasaan/dominasi kehidupan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan besar (MNC, Multi-National Corporations), telah memaksa orang untuk berpikir ulang tentang kedua terminologi “ekonomi rakyat” dan “ekonomi Islam” di atas. Dalam mencari pemecahan atas nasib negara-negara berkembang yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar -semacam MNCs itu, mau tak mau orang lalu merasakan adanya kebutuhan akan aplikasi kata “keadilan” dalam tatanan ekonomi yang diinginkan.

Dalam pencarian kata yang tepat untuk menemukan keseimbangan antara kekuatan perusahaan-perusahaan besar/MNCs di satu pihak dan negara-negara berkembang di pihak lain, terasa ada kebutuhan untuk menampilkan kembali istilah “ekonomi rakyat”, yang diperkirakan juga berlaku bagi istilah “ekonomi Islam”. Kenyataan inilah yang merupakan sesuatu yang harus diperhitungkan oleh mereka yang ingin mencari tatanan ekonomi yang memperhatikan keseimbangan kemampuan antara perusahaan-perusahaan besar/MNCs dan negara-negara berkembang tersebut.

Ketidak-mampuan memahami kenyataan ini, telah berakhir dengan protes salah arah yang terjadi dalam pertemuan WTO (World Trade Organisation) di Seatle dua tahun yang lalu, dan di ulang kembali di Qatar. Dicarikan jawaban materialistik/sekuler bagi persoalan yang sebenarnya berwatak spiritual, dalam artian diperlukan adanya penggunaan tata nilai (value system) sebagai landasan sebuah tatanan ekonomi. Tatanannya dapat bersifat sekuler, tapi ada nilai-nilai dasar yang bersifat spiritual yang juga digunakan.

Pemeliharaan keseimbangan antara berbagai tatanan ekonomi memerlukan sebuah landasan yang sangat kokoh, yaitu “keyakinan akan keadilan”, sebuah keyakinan yang muncul apabila kita berpegang teguh pada asas-asas spiritual, yang umumnya dimiliki semua agama. Ketika Schumacher memunculkan gagasan “kecil itu indah” (small is beautiful), ia melakukan itu atas nama prinsip-prinsip agama Budha yang menekankan pentingnya arti “jalan tengah” (middle way). Dalam hal ini, Schumacher mementingkan pengendalian hawa nafsu agar tidak mengarahkan kehidupan kita pada keinginan untuk menguasai sesuatu secara berlebihan.

Jelaslah dengan demikian, bahwa pandangan Islam tentang ekonomi ditentukan oleh rasa keadilan yang tinggi, sesuatu yang tidak dapat dibatasi oleh tatanan ekonomi belaka. Semangat menjunjung tinggi pada keadilan, dalam berbagai bentuknya dalam berbagai bidang, telah ada dalam kitab suci Al-qur’an. Firman Tuhan “wahai orang-orang yang beriman, tegakkanlah keadilan dan jadilah saksi bagi Tuhan walaupun mengenai diri kalian sendiri” (yaa ayyuha al-ladzina ‘amanuu kuunu qawwamiina bi al-qishti syuhadaa’a lillah walau ‘ala anfusikum), jelas menggambarkan adanya semangat seperti itu.
Kesadaran akan keadilan ini, telah membawakan rasa perlunya tatanan ekonomi yang lebih adil, yang dirumuskan dalam tatanan “ekonomi rakyat”. Dalam tatanan sedemikian itu, bentuk badan ekonomi yang harus didukung oleh negara secara lebih besar lagi adalah Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Seorang teman penulis, memiliki sejumlah UKM, dengannya ia memiliki omzet bermilyard-milyard rupiah. Dalam hal ini, ia menguasai aset-aset ekonomi yang beragam, dan dapat disebut sebagai pengusaha kelas kakap. Tetapi, perusahaan-perusahaan yang dikelolanya berskala kecil. Melalui perusahaan-perusahaan kecil itu, ia melayani masyarakat kecil yang justru pelayanannya secara keseluruhan berjumlah sangat besar. Dengan kata lain, ia menerapkan prinsip “ekonomi rakyat” dalam jumlah yang sangat besar, yakni jumlah yang dilayani sama besarnya dengan milik perusahaan-perusahaan besar tapi dengan orientasi membela orang kecil, dan tidak memberlakukan prinsip maksimisasi keuntungan (profit maximization).

Perubahan yang mencolok dari pengertian “ekonomi Islam” pada pengertian “ekonomi rakyat” ini, merupakan perkembangan yang sangat menarik untuk dikaji. Dengan kata lain, tekanan tidak diberikan pada pengembangan teoritis dalam memahami ajaran Islam di bidang ekonomi, melainkan justru pada pengembangannya dalam praktek. Ini berarti, prioritas pengembangan apa yang dinamakan “ekonomi Islam” itu, lebih banyak berkisar pada aspek orientasi. Orientasi kerakyatan yang dimilikinya, merupakan sebuah dorongan sangat besar untuk memperoleh sebuah tatanan ekonomi yang memperhatikan aspek keadilan dan keseimbangan, karena penolakan atas istilah “globalisasi” yang disalah-artikan, yang berkesudahan pada pelestarian ketidak-adilan dan ketidak-seimbangan dalam tatanan ekonomi dunia. Karena sifatnya yang mencari keseimbangan antara negara-negara bertehnologi maju di satu sisi dan negara-negara berkembang di sisi lain, tanpa harus terjebak dalam pengembangan populisme yang menolak sistem-sistem ekonomi lain, seperti kapitalisme, dengan sendirinya loyalitas kepada kepentingan orang banyak itu, menjadikan konstruks “ekonomi Islam” tersebut berfungsi korektif belaka, dan tidak menjadikannya lawan atau alternatif bagi siapapun. Kalau diingat “ekonomi Islam” adalah alternatif teoritik bagi kapitalisme dan sosialisme, maka timbul sebuah pertanyaan dapatkah ia dinamai ekonomi Islam?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar