Selasa, 22 Mei 2012

Islam dan Ekonomi Rakyat

Oleh: Abdurrahman Wahid

Dalam beberapa dasa warsa yang lalu, diajukan oleh berbagai pihak sebuah gagasan tentang ekonomi rakyat. Di samping itu, beberapa pemikir Islam mengajukan apa yang mereka namakan “ekonomi Islam”, yang sepintas lalu mengandaikan adanya tatanan ekonomi yang terlepas dari bangunan ekonomi yang selama ini dikenal orang. Ini dapat dimengerti, karena dua sebab. Pertama, karena tata ekonomi yang ada waktu itu sepenuhnya di dasarkan pada asumsi-asumsi materialistik, hingga tata ekonomi yang dihasilkannya pun bersifat sekuler. Dengan demikian, yang melawannya pun harus memiliki acuan spiritual, dengan begitu diajukanlah “ekonomi Islam” sebagai sesuatu yang samawi (memiliki kebenaran langit), yang menjadikannya sesuatu yang sama sekali tidak praktis bagi kehidupan.

Sebab kedua, tata “ekonomi rakyat” waktu itu, memiliki pengertian tata ekonomi yang dibangun atas dasar asumsi-asumsi komunistik, yang berarti juga ekonomi sekuler. Dengan penyifatan “ekonomi Islam” sebagai tatanan yang tidak membumi, dan “ekonomi rakyat” yang bersifat komunistik, maka dengan sendirinya “ekonomi Islam” itu dijauhkan dari istilah dari “ekonomi rakyat”. Karenanya, dua terminologi itu berjauhan satu dari yang lain, kalau tidak dikatakan bertentangan atau justru bermusuhan. Di satu pihak, orang tidak mau mengakui dasar spiritual dari sebuah teori ekonomi; dan di pihak lain, orang menolak gagasan “ekonomi rakyat”.

Kini, globalisasi yang disalah-artikan sebagai penguasaan/dominasi kehidupan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan besar (MNC, Multi-National Corporations), telah memaksa orang untuk berpikir ulang tentang kedua terminologi “ekonomi rakyat” dan “ekonomi Islam” di atas. Dalam mencari pemecahan atas nasib negara-negara berkembang yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar -semacam MNCs itu, mau tak mau orang lalu merasakan adanya kebutuhan akan aplikasi kata “keadilan” dalam tatanan ekonomi yang diinginkan.

Dalam pencarian kata yang tepat untuk menemukan keseimbangan antara kekuatan perusahaan-perusahaan besar/MNCs di satu pihak dan negara-negara berkembang di pihak lain, terasa ada kebutuhan untuk menampilkan kembali istilah “ekonomi rakyat”, yang diperkirakan juga berlaku bagi istilah “ekonomi Islam”. Kenyataan inilah yang merupakan sesuatu yang harus diperhitungkan oleh mereka yang ingin mencari tatanan ekonomi yang memperhatikan keseimbangan kemampuan antara perusahaan-perusahaan besar/MNCs dan negara-negara berkembang tersebut.

Ketidak-mampuan memahami kenyataan ini, telah berakhir dengan protes salah arah yang terjadi dalam pertemuan WTO (World Trade Organisation) di Seatle dua tahun yang lalu, dan di ulang kembali di Qatar. Dicarikan jawaban materialistik/sekuler bagi persoalan yang sebenarnya berwatak spiritual, dalam artian diperlukan adanya penggunaan tata nilai (value system) sebagai landasan sebuah tatanan ekonomi. Tatanannya dapat bersifat sekuler, tapi ada nilai-nilai dasar yang bersifat spiritual yang juga digunakan.

Pemeliharaan keseimbangan antara berbagai tatanan ekonomi memerlukan sebuah landasan yang sangat kokoh, yaitu “keyakinan akan keadilan”, sebuah keyakinan yang muncul apabila kita berpegang teguh pada asas-asas spiritual, yang umumnya dimiliki semua agama. Ketika Schumacher memunculkan gagasan “kecil itu indah” (small is beautiful), ia melakukan itu atas nama prinsip-prinsip agama Budha yang menekankan pentingnya arti “jalan tengah” (middle way). Dalam hal ini, Schumacher mementingkan pengendalian hawa nafsu agar tidak mengarahkan kehidupan kita pada keinginan untuk menguasai sesuatu secara berlebihan.

Jelaslah dengan demikian, bahwa pandangan Islam tentang ekonomi ditentukan oleh rasa keadilan yang tinggi, sesuatu yang tidak dapat dibatasi oleh tatanan ekonomi belaka. Semangat menjunjung tinggi pada keadilan, dalam berbagai bentuknya dalam berbagai bidang, telah ada dalam kitab suci Al-qur’an. Firman Tuhan “wahai orang-orang yang beriman, tegakkanlah keadilan dan jadilah saksi bagi Tuhan walaupun mengenai diri kalian sendiri” (yaa ayyuha al-ladzina ‘amanuu kuunu qawwamiina bi al-qishti syuhadaa’a lillah walau ‘ala anfusikum), jelas menggambarkan adanya semangat seperti itu.
Kesadaran akan keadilan ini, telah membawakan rasa perlunya tatanan ekonomi yang lebih adil, yang dirumuskan dalam tatanan “ekonomi rakyat”. Dalam tatanan sedemikian itu, bentuk badan ekonomi yang harus didukung oleh negara secara lebih besar lagi adalah Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Seorang teman penulis, memiliki sejumlah UKM, dengannya ia memiliki omzet bermilyard-milyard rupiah. Dalam hal ini, ia menguasai aset-aset ekonomi yang beragam, dan dapat disebut sebagai pengusaha kelas kakap. Tetapi, perusahaan-perusahaan yang dikelolanya berskala kecil. Melalui perusahaan-perusahaan kecil itu, ia melayani masyarakat kecil yang justru pelayanannya secara keseluruhan berjumlah sangat besar. Dengan kata lain, ia menerapkan prinsip “ekonomi rakyat” dalam jumlah yang sangat besar, yakni jumlah yang dilayani sama besarnya dengan milik perusahaan-perusahaan besar tapi dengan orientasi membela orang kecil, dan tidak memberlakukan prinsip maksimisasi keuntungan (profit maximization).

Perubahan yang mencolok dari pengertian “ekonomi Islam” pada pengertian “ekonomi rakyat” ini, merupakan perkembangan yang sangat menarik untuk dikaji. Dengan kata lain, tekanan tidak diberikan pada pengembangan teoritis dalam memahami ajaran Islam di bidang ekonomi, melainkan justru pada pengembangannya dalam praktek. Ini berarti, prioritas pengembangan apa yang dinamakan “ekonomi Islam” itu, lebih banyak berkisar pada aspek orientasi. Orientasi kerakyatan yang dimilikinya, merupakan sebuah dorongan sangat besar untuk memperoleh sebuah tatanan ekonomi yang memperhatikan aspek keadilan dan keseimbangan, karena penolakan atas istilah “globalisasi” yang disalah-artikan, yang berkesudahan pada pelestarian ketidak-adilan dan ketidak-seimbangan dalam tatanan ekonomi dunia. Karena sifatnya yang mencari keseimbangan antara negara-negara bertehnologi maju di satu sisi dan negara-negara berkembang di sisi lain, tanpa harus terjebak dalam pengembangan populisme yang menolak sistem-sistem ekonomi lain, seperti kapitalisme, dengan sendirinya loyalitas kepada kepentingan orang banyak itu, menjadikan konstruks “ekonomi Islam” tersebut berfungsi korektif belaka, dan tidak menjadikannya lawan atau alternatif bagi siapapun. Kalau diingat “ekonomi Islam” adalah alternatif teoritik bagi kapitalisme dan sosialisme, maka timbul sebuah pertanyaan dapatkah ia dinamai ekonomi Islam?

Ekonomi dalam konsep Nasional


Oleh: Abdurrahman Wahid
Sejak kemerdekaan di tahun 1945, orientasi ekonomi kita banyak ditekankan pada kepentingan para pengusaha besar dan modern. Di tahun 1950-an, dilakukan kebijakan Benteng, dengan para pengusaha pribumi atau nasional memperoleh hampir seluruh lisensi, kredit dan pelayanan pemerintah untuk “mengangkat” mereka. Hasilnya adalah lahirnya perusahaan “Ali- Baba” , yaitu dengan mayoritas pemilikan ada ditangan para pengusaha keturunan Tionghoa dan pelaksana perusahaan seperti itu dipimpin oleh “pengusaha pribumi”. Ternyata, kebijakan itu gagal, ‘si Baba’ atau pengusaha keturunan Tionghoa, karena ketekunan dan kesungguhannya mulai menguasai dunia usaha, baik yang bersifat peredaran/ perdagangan barang-barang maupun pembuatan/produksinya, walau adanya pembatasan ruang gerak warga negara keturunan Tionghoa, untuk tidak aktif/memimpin di bidang-bidang selain perdagangan.

Demikian pula dengan sistem quota dalam pendidikan, mau tidak mau mempengaruhi ruang gerak warga negara keturunan Tionghoa di bidang perdagangan saja. Mereka dengan segera memanfaatkan kelebihan uang mereka, untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka di luar negeri. Karena tidak terikat dengan sistem beasiswa yang disediakan pemerintah, dengan pembagian “rata-rata” untuk berbagai bidang study, mereka lalu memanfaatkan kecenderungan besar di luar negeri, untuk memberikan perhatian lebih besar kepada pendidikan berbagai bidang usaha: teknologi, produksi, kimia, komunikasi terpan, kemasan (package), pemasaran, penciptaan jaringan (networking) dan permodalan. Di tahun-tahun terakhir ini, mereka bahkan sudah mencapai tingkatan kesempurnaan (excellence) dalam bidang-bidang tersebut, seperti terbukti dari hasil-hasil yang dicapai anak-anak mereka di luar negeri.

Karena itu tidaklah mengherankan, jika lalu dunia usaha (bisnis) mereka kuasai. Para manager/pimpinan usaha ada di tangan mereka, bahkan hal itu terasa pada tingkat usaha di bidang keuangan/ finansial hampir seluruhnya mereka kuasai secara nyata, Bulog dan Dolog hampir seluruhnya berhutang uang pada mereka. Sehingga praktis mereka lah yang menentukan jalannya kebijakan teknis, dalam hal-hal yang menyangkut sembilan macam kebutuhan pokok bangsa. Tidak mengherankan jika lalu ada pihak yang merasa, ekonomi negeri kita dikuasai oleh keturunan Tionghoa, itu wajar saja. Bahkan lontaran bahasa mereka akan menjadi sangat berbahaya, jika di tutup-tutupi oleh pemerintah dan media dalam negeri. Namun, harus segera di temukan sebuah kerangka lain, untuk menghindarkan lontaran-lontaran perasaan yang emosional seperti itu. Janganlah berbagai reaksi itu, lalu berkembang karena di percaya oleh orang banyak.
****

Dalam hal ini, diperlukan adanya sebuah penataan ekonomi bangsa kita, penataan itu harus dilakukan karena kesenjangan kaya-miskin memang menjadi besar dalam kenyataan. Bagaimanapun juga harus diakui, bahwa apa-apa yang terbaik di negeri kita, dikuasai/ dimiliki oleh mereka yang kaya, baik “golongan pribumi” maupun “golongan keturunan Tionghoa”. Untuk menyelamatkan diri dari kemarahan orang melarat, baik yang merasa miskin ataupun yang memang benar-benar tidak menguasai/memiliki apa-apa, maka elite ekonomi/orang kaya “kalangan pribumi” selalu meniup-niupkan bahwa perekonomian nasional kita dikuasai/ dimiliki para pengusaha “golongan keturunan Tionghoa”. Karena memang selama ini media nasional dan kekuasaan politik selalu berada di tangan mereka, dengan mudah saja pendapat umum dibentuk dengan menganggap “golongan keturunan Tionghoa”, yang lazim disebut golongan non-pribumi, sebagai penguasa perekonomian bangsa kita.
Kesan salah itu dapat segera dibetulkan, dengan sebuah koreksi total atas jalannya orientasi perekonomian kita sendiri. Koreksi total itu harus dilakukan atas orientasi yang lebih mementingkan pelayanan kepada pengusaha besar dan raksasa, apapun alasannya, termasuk klaim pertolongan kepada pengusaha nasional “ pribumi”, haruslah disudahi. Yang harus ditolong adalah pengusaha kecil dan menengah, seperti yang diinginkan oleh Undang-Undang Dasar yang kita miliki, maupun berbagai peraturan yang lain. Dengan demikian tidaklah tepat untuk mempersoalkan “pribumi” dan “non-pribumi”, karena persoalannya bukan terletak di situ, masalahnya adalah kesenjangan antara kaya dan miskin.

Jadi, yang harus di benahi, adalah orientasi yang terlalu melayani kepentingan orang-orang kaya, atas kerugian orang miskin. Kita harus jeli melihat masalah ini dengan kacamata yang jernih. Perubahan orientasi itu terletak pada dua bidang utama, yaitu pertolongan kepada UKM (usaha kecil dan menengah) dan upaya mengatasi kemiskinan. Kedua langkah itu harus disertai pengawasan yang ketat, disamping liku-liku birokrasi, yang memang merupakan hambatan tersendiri bagi upaya memberikan kredit murah kepada UKM. Padahal, apapun upaya yang dilakukan untuk menolong UKM, tentulah menghadapi hambatan. Jadi, haruslah dirumuskan kerangka yang tepat untuk tujuan ini. Dan tentu saja, upaya mengatasi kemiskinan menghadapi begitu banyak rintangan dan hambatan terutama dari lingkungan birokrasi sendiri.
****

Tujuan pemerintah dan kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah Maslahah am’mah, yang secara sederhana diterjemahkan dengan kata kesejahteraan. Kata kesejahteraan ini, dalam Undang-Undang Dasar kita, dinamakan keadilan dan kemakmuran sekaligus dalam pembukaan UUD 1945 diterangkan, bahwa tujuan bernegara bagi kita semua diibaratkan menegakan masyarakat yang adil dan makmur. Ini juga menjadi sasaran dari ketentuan Islam atau ushul fiqh (islamic legal theory), dengan pengungkapan “kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpinnya, terkait langsung dengan kepentingan rakyat yang dipimpinnya” (Tasharruf al-imam manutun bi-al-maslahah).
Dalam bahasa sekarang, sikap agama seperti itu dirumuskan sebagai titik yang menentukan bagi orientasi kerakyataan. Itulah yang seharusnya menjadi masalah arah kita, dalam menyelenggarakan perekonomian nasional. Bukannya mempersoalkan asli dan tidak dengan latar belakang seorang pengusaha. Pandangan picik seperti itu, sudah seharusnya digantikan oleh orientasi perekonomian nasional kita yang lebih sesuai dengan kebutuhan mayoritas bangsa.

****

Masalahnya sekarang, perekonomian nasional kita terkait sepenuhnya dengan persaingan bebas, keikutsertaan dalam perdagangan internasional yang bebas dan mengutamakan efisiensi rasional. Karenanya orientasi ekonomi rakyat harus di fokuskan kepada ketiga ”prinsip menjaga dan mendorong UKM”. Tetapi, yang berlaku dalam hal ini adalah keharusan merubah orientasi perekonomian nasional itu sendiri, namun sangat sulit dalam pelaksanaan, bukan?

Jakarta, 3 Januari 2003
Jumat, 9 Oktober 1998
A. Wahid Hasyim, NU dan Islam
 
Oleh Abdurrahman Wahid

Soewarno adalah seorang pemuda berusia sekitar 20 tahun dan bertugas di Corp Polisi Militer (CPM) Yogyakarta di bawah pimpinan Sakri Soekiman di masa revolusi. la adalah prajurit biasa yang sering dipindahtugaskan dari satu tempat ke tempat lain di berbagai kesatuan dari masa itu. Yang paling mengesankan adalah tugasnya selaku pengawal Panglima Besar Soedinnan, Panglima ABRI pada waktu itu. Dari posisi itulah dia mengenal beberapa tokoh masyarakat kita, antara lain K.H. A. Wahid Hasyim.

Sekarang dalam usia 73 tahun, pensiunan tentara itu telah lama menjadi pengusaha swasta dan tinggal di Bogor.Dalam waktu senggangnya dia menceritakan pengalaman-pengalamannya di masa lampau. Suatu saat dia datang ke rumah penulis di Ciganjur. Soewarno menceritakan dengan semangat bahwa ia berkali-kali menjaga Panglima Besar Soedirman di saat beliau bertemu dengan pemuda A. Wahid Hasyim dan Pimpinan Masyumi, Dr. Soekiman Wirjosandjojo di Kauman, Yogyakarta.

Dr. Soekiman Wirjosandjojo ini pada tahun 50-an pernah menjadi Perdana Menteri Rl dengan K.H. A. Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama. Dia adalah ayah dari komandan Soewarno, Sakri Soekiman. Menurut Soewarno, ketika mereka bertiga bertemu dan berbicara tentang masalah kenegaraan, K.H. A. Wahid Hasyim tampak bersemangat terutama ketika dia menjelaskan perlunya hukum Islam disandarkan pada Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia.

Kalau sudah berbicara masalah ini. Dr. Soekiman dan Panglima Besar Soedirman hanya memandang sambil mengangguk-anggukkan kepala. Hal ini masuk akal, karena keduanya bukanlah orang yang mendalami masalah agama. Sedangkan pemuda A. Wahid Hasyim adalah pemuda pesantren yang sarat dengan kajian keagamaan. Jadi cerita Soewarno tentang hal ini jelas bukan sesuatu yang mengada-ada.

Yang menarik kita dari penuturan Soewarno itu adalah satu hal, bagaimanakah pemuda A. Wahid Hasyim mempertahankan kedudukan Pancasila dengan supremasinya atas hukum Islam (syari'ah). Sedangkan syari'ah pada umumnya dianggap memiliki supremasi lebih tinggi daripada Pancasila yang buatan manusia? Sayangnya penuturan Soewamo tersebut tidak diikuti oleh keterangan-keterangan lebih lanjut. Misalnya apa argumentasi yang dijadikan dasar pemikiran A. Wahid Hasyim untuk bersikap demikian. Hal ini penting karena K.H. A. Wahid Hasyim meninggal secara mendadak tahun 1953 dalam usia 39 tahun, dan Soewamo hingga saat ini tidak menguasai persoalan.

Kini terasa benar bobot persoalan yang diutarakan A. Wahid Hasyim itu, karena putaran masalahnya mengembangkan hal itu ke permulaan pemikiran kita kembali. Tanpa disadari siklus permasalahan itu muncul kembali dalam perhatian kita saat ini. Orientasi meng-utamakan Pancasila atas syari'ah kini mengalami pemikiran ulang. Kembali ada yang mempertanyakan terutama pada era pasca-Soeharto, di mana orang menuntut agar diperbolehkan menggunakan asas Islam. Ini berarti memberikan supremasi pada syari'ah, dan rasa-rasanya hal ini dapat menjadi isu utama dalam Pemilu tahun '99. Bahkan kalau saja Pemilu ditunda pelaksanaannya, itu karena tidak sanggupnya pihak yang ingin melontarkan supremasi syari'ah sumber hukum negara kita.Karenanya perlulah kita mencoba meraba-raba apa yang menjadi pemikiran A. Wahid Hasyim dalam masalah ini.

Di sisi lain, A. Wahid Hasyim pemah pula diceritakan oleh mantan Menteri Agama, Munawir Sjadzali. Beliau mengisahkan bahwa pada suatu saat pemah plilang bersama K.H. A. Wahid Hasyim dari niangan Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang dipimpin oleh pemuda Anwar Hariyono di Yogyakarta. Dalam perjalanan pulang dengan jalan kaki menuju Kauman, Yogyakarta, A. Wahid Hasyim menyatakan kekesalannya pada kiai-kiai NU.

Kekesalan A. Wahid Hasyim ini tentu saja dapat dimaklumi. Sebagai seorang pemuda dia merasa sangat terbelenggu oleh pola pikir para kiai yang dianggapnya sangat "konservatif". Dia sangat terpengaruh oleh suasana kongres yang banyak membahas berbagai persoalan secara terbuka dengan berbagai sudut pandang. Sedangkan dalam kongres tersebut, A. Wahid Hasyim sendiri masih harus terikat pada pendirian formal NU yang sepenuhnya berasal dari pandangan para ulama yang masih bersandar pada syari'ah. Lebih-lebih para ulama tersebut tidak tertarik pada Pancasila sebagai landasan hukum negara kita.

Di sini kita berhadapan dengan kenyataan sosiologis bahwa gerakan-gerakan Islam masih ada yang mengutamakan syari'ah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tema ini berulang-ulang lahir kembali setiap kali dasar-dasar negara kita dibicarakan. Bukankah ini hal yang mengejutkan kita? Soekarno pemah memperdebatkan ini dengan Moh. Natsir pada tahun 30-an melalui tulisan-tulisannya Islam Sontoloyo. Agus Salim juga pernah memperdebatkannya dalam serangkaian tulisan.

Sekarang pun masalah hubungan, fungsi, dan kedudukan syari'ah dan hukum negara masih hangat diperbincangkan sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisan Saad el-Din al-Asmawi dan Nasr Abu Zayd. Masing-masing pensiunan Ketua Mahkamah Agung Mesir dan pensiunan dosen hukum Islam di Fakultas Hukum Cairo University.

Pendapat A. Wahid Hasyim yang memberikan supremasi Pancasila sebagai dasar negara atas hukum Islam tidak perlu dianggap aneh. Pendiriannya yang demikian dibuktikan dan dikukuhkan ketika beberapa tahun kemudian dia menjabat sebagai Menteri Agama. Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Agama, K.H. A. Wahid Hasyim menerima permintaan agar para siswi diterima pada Sekolah Guru Hakim Agama Negeri (SGHAN).

Seperti diketahui, syari'ah melalui karya-karya para ulama telah menetapkan empat syarat bagi kedudukan hakim Islam, yang di negeri kita menjadi bagian dari Hukum Agama. Dalam pandangan ini, seorang wanita tidak boleh menjadi hakim agama, sehingga tidak boleh ada hakim agama wanita. Konsekuensi dari pandangan ini adalah ditolaknya wanita sebagai pelajar SGHAN karena lulusan lembaga tersebut nantinya akan menjadi guru hakim atau hakim agama.Hal ini jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 yang memberikan kedudukan sama pada pria dan wanita.

Dalam pandangan hukum buatan manusia ini diperkenankan adanya hakim agama wanita. Kalau ada menteri agama yang menerima wanita menjadi siswi SGHAN (sekarang IAIN, Fakultas Syari'ah, Jurusan Qadia'), jelas dia telah mengubah ketentuan syari'ah dan berpegang pada supremasi hukum kontemporer.

Inilah yang dilakukan oleh K.H. A. Wahid Hasyim,dalam kedudukannya sebagai Menteri Agama. Dengan demikian jelaslah bahwa dia mengikuti madzhab yang mengakui supremasi hukum kontemporer dengan mengalahkan syari'ah. Dan ini dilakukannya dalam kapasitas selaku pimpinan ormas terbesar di negeri ini, yaitu Nahdiatui Ulama (NU). Anehnya, meski pikirannya sangat liberal namun tidak pernah menerima hujatan dan gugatan dari ulama yang berpegang teguh pada syari'ah, termasuk ayahandanya sendiri.

EI-Asmawi menganggap Hukum Napoleon dari Barat yang menjadi landasan Hukum Pidana Mesir saat ini adalah telah memenuhi ketentuan-ketentuan syari'ah, sedangkan lawan-lawannya berpandangan sebaliknya.Kalau pandangan EI-Asmawi ini benar maka tidak perlu lagi ada hukum syari'ah, karena hukum yang ada telah menampung dua hal penting dari syari'ah, yaitu unsur ketahanan (deterrence) dan hukuman (punitive). Abu Zayd bahkan menganggap syari'ah tidak diperlukan lagi, karena telah ditutup peranannya oleh banyak aspek kehidupan masa kini.

Sementara itu yang berpendirian sebaliknya mengemukakan, bahwa dasar-dasar hukum yang ada dalam Al-qur'an, hadis Nabi dan dirumuskan dalam berbagai literatur fiqh merupakan legasi yang harus diberi tempat utama dalam kehidupan. Kalau terjadi pertentangan antara legasi dan segi-segi kontemporer dan kehidupan maka yang harus dimenangkan adalah legasi tersebut. Dengan kata lain, pendirian formal Islam dalam setiap soal haruslah diutamakan atas pendirian manusiawi kontemporer.

Dengan demikian, jelas apa yang dipikirkan A. Wahid Hasyim pada waktu itu adalah seuatu yang sangat menarik. Kalau benar apa yang diceritakan Soewarno dan apa yang menurut pandangan kita melatarbelakangi pemikiran A. Wahid Hasyim sepulang dari Kongres CPU, sebagaimana diceritakan Munawir Sjadzali, semuanya itu masih relevan hingga saat ini.

A. Wahid Hasyim memikirkan hal yang sama dengan Soekamo, Agus Salim dan Natsir, walaupun isi pemikiran berlainan dari tokoh yang berbeda-beda itu. Dia menghadapi masalah yang abadi, manakah yang harus diutamakan antara syari'ah dan hukum kontemporer? Dan masalah ini pula yang saya rasa harus dijawab oleh semua partai.

Pada tahun 1935, Nahdlatul Ulama (NU) mengadakan muktamar di Banjarmasin, Borneo
(sekarang Kalimantan). Salah satu keistimewaan muktamar itu adalah munculnya pertanyaan, wajibkah umat Islam negeri ini mempertahankan negara, yang waktu itu dikenal dengan nama kerajaan Hindia Belanda (Nederlandsch oos-indie), karena istilah Indonesia belum dipakai.Pertanyaan itu timbul dari persiapan-persiapan militer Jepang untuk menduduki Asia Tenggara sebagaimana terjadi beberapa tahun kemudian. Kalau dilihat dari sudut pandang hukum Islam, hal ini sangat menarik. Bukankah kerajaan Hindia Belanda diperintah oleh pemerintahan nonmuslim, karena Gubernur Jenderalnya adalah orang Belanda yang beragama Kristen? Kalau hal itu dapat dibenarkan berarti tidak ada keharusan bagi umat Islam untuk mempertahankan Kerajaan Hindia Belanda? Bukankah dengan demikian legitimasi kerajaan akan hilang?

Muktamar NU waktu itu temyata membuat keputusan yang sama sekali berbeda dengan yang dibayangkan para ulama syar'i. Muktamar memutuskan bahwa kerajaan Hindia Belanda wajib dipertahankan. Berarti pemerintahan oleh orang-orang nonmuslim pun tetap dipertahankan apabila dia merupakan pemerintahan yang sah dan tetap memberi jaminan kebebasan pada orang muslim untuk melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Kalau ini diterima berarti mempertahankan pemerintahan oleh orang Islam bukan merupakan kewajiban yang bertentangan dengan hal tersebut di atas.

Dengan kata lain prinsip adanya negara harus diterima terhadap kenyataan tidak adanya negara (faudla). Hal ini diperkuat dengan keputusan Pengurus Besar Nahdiatui Ulama (PBNU) untuk mengeluarkan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 yang berisi seruan kewajiban bagi orang muslim untuk berjuang niempertahankan negara Rl dari serangan orang luar.

Kalau mempertahankan pemerintahan nonmuslim dilihat dari sudut pandang agama adalah kewajiban utama,maka in mempertahankan pemerintahan oleh kaum muslimin (Soekamo, Hatta, dan Syahrir) adalah juga kewajiban agama. Dengan kata lain masalah orangnya tidaklah penting, yang harus dijaga adalah tetapnya negara.

Apabila prinsip ini diterapkan jelas bahwa dasar negara Pancasila pun bersifat demikian. Kedua keputusan di atas sangatlah penting bagi NU dalam keikutsertaannya dalam kehidupan bernegara. Artinya, NU terikat pada keputusan bersama mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia, yang juga adalah pendirian seluruh rakyat Indonesia. Ini dengan sendirinya berarti masalah agama diserahkan kepada para politikus di DPR (parlemen) dan MPR untuk diputuskan secara formal.

Kalau para kiai membicarakannya dalam muktamar itu bukan keputusan yang mengikat secara formal (kenegaraan), melainkan sebagai keputusan perorangan. Paling tinggi ia adalah keputusan kelompok. Hal ini sangat penting untuk diingat karena seluruh keberadaaan NU tergantung pada keputusan ini.

Kalau kita kembali pada Muktamar NU Banjarmasin di atas terlihat jelas bahwa NU membedakan antara pendapat resmi yang diwakili oleh negara dan pendapat yang mewakili kelompok agama. Salah satu diktum mengapa umat Islam mempertahankan negara Hindia Belanda adalah kenyataan bahwa di Indonesia pemah berdiri kerajaan Islam. Dengan demikian, hukum yang dipakai kerajaan Islam tersebut adalah hukum Islam yang dikenal di kawasan ini. Syari'ah yang diterima di sini pun adalah hukum Islam yang diterima kaum muslimin Indonesia. Bukannya hukum Islam yang abstrak yang berlaku untuk semua tempat dan zaman. Tidaklah dapat dicegah adanya perbedaan persepsi antara tempat dan waktu dalam dunia lslam.Berarti diktum itu tergantung pada pihak yang mengambil keputusan. Di sinilah letak kekuatan NU sekaligus kelemahan pandangan NU.

Kekuatannya terletak pada kenyataan bahwa pertimbangan-pertimbangan lokal selalu menjadi bagian dari keputusan NU di bidang agama. Dilihat dari sudut ini, kesediaan NU untuk mendukung syari'ah dalam sidang Konstituante 1956-1959 adalah tindakan taktis guna mempertahankan keutuhan umat yang akhirnya menjadi sesuatu yang terbantah dengan penerimaannya atas Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Sebaliknya, keputusan NU untuk menerima asas Pancasila dalam muktamarnya di Situbondo tahun 1984 adalah keputusan prinsip yang berjangka panjang. Pada waktu itu penulis telah ikut serta dalam proses merumuskan pendirian (pandangan) NU tersebut dengan menjadi Sekretaris Panitia Kecil NU yang diketuai oleh K.H. Ahmad Shiddiq. Ketika K.H. Ahmad Shiddiq memerintahkan penulis untuk menemui wakil pemerintah Rl, penulis diterima oleh pejabat yang bertugas mengurus masalah tersebut, yaitu Menteri Sekretaris Kabinet, Drs. Moerdiono.

Kepada beliau penulis menanyakan: apakah Pancasila akan menggantikan kedudukan agama, dipandang sebagai agama, atau diperlakukan sebagai agama oleh pemerintah? Oleh beliau dijawab tidak.Dengan demikian, tempat Pancasila dan agama berbeda-beda, karena agama dan negara memang memandangnya dari sudut yang berlainan. Berarti yang menangani masalahpun berbeda-beda antara pemerintah dan ulama, walaupun pandangan dasarnyatetap sama yaitu kesetiaan pada dasar negara.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa NU memiliki pandangan yang tersendiri mengenai hubungan antara Islam dan Pancasila.

Pertama, masalah Pancasila adalah masalah duniawi dan tidak memiliki dimensi akhirat, karenanya masalah itu lebih tepat diurus oleh negara dengan didampingi oleh para ulama ahli syari'at.

Kedua, persoalan Pancasila adalah persoalan yang harus dipecahkan di negara ini dan dalam konteks bernegara pula. Sehingga tidak tepat untuk menanyakan bagairnana pandangan Pancasila tentang suatu hal, karena itu adalah yurisdiksi dan syari'ah. Setiap upaya untuk mencari legitimasi negara dalam masalah-masalah keagamaan harus dijauhi sedapat mungkin, demikian pula sebaliknya. Ini berarti negara harus pandai-pandai membawakan diri untuk tidak mudah rnemasuki wilayah yang bukan urusannya guna memelihara sikap yang sama pada semuanya.

Kalau kita bisa menerima Pancasila dalain pengertian ini maka tidak terdapat lagi pertentangan dalam sikap. Namun apabila Pancasila diterima hanya untuk membenarkan tindakan dan sikap tertentu dari kalangan agamawan, hal itu berarti pemberian dasar negara oleh agama. Dan itu tidak dapat dibenarkan pada saat ini. Secara tidak terasa kita telah banyak membohongi Pancasila untuk kepentingan-kepentingan kaum muslimin. Sudah waktunya kita melakukan koreksi atas hal itu jika kita mau jujur pada diri sendiri dan pada negara.

Dari uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa K.H. Abdul Wahid Hasyim sebagai tokoh NU yang berpikiran dinamis dan liberal telah memberikan dampaknya sendiri pada jalan perjuangan NU hingga saat ini. Benarkah hal ini telah disadari oleh kalangan NU dewasa ini? Inilah pertanyaan yang memerlukan jawaban dari warga NU apabila mereka ingin mendalami sejarah NU di masa lampau guna kepentingan di masa depan.


Penulis adalah Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB

Minggu, 20 Mei 2012

Kebebasan yang Benar


Dalam interaksi muslim dengan non-muslim atau kepercayaan yang berbeda, Islam memiliki dua konsep penting; toleransi dan berdakwah. Toleransi (samahah) merupakan ciri khas dari ajaran Islam. Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam Islam. Dakwah dalam Islam bersifat mengajak, bukan memaksa. Dari kaidah inilah maka ketika non-muslim (khususnya kaum dzimmi) berada di tengah-tengah umat Islam atau di negara Islam, maka mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam bahkan dijamin keamanannya karena membayar jizyah sebagai jaminannya.
Toleransi antarumat beragama dalam muamalah duniawi, Islam menganjurkan umatnya untuk bersikap toleran, tolong-menolong, hidup yang harmonis, dan dinamis di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan ras mereka. Dalam hal ini Allah berfirman (yang artinya), “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al-Mumtahanah: 8-9).
Imam al-Syaukani dalam Fath al-Qadir menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik kepada kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari peperangan dan tidak membantu orang kafir lainnya dalam memerangi umat Islam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak melarang bersikap adil dalam bermuamalah dengan mereka. Kafir dzimmi itu dilindungi karena taat pada kepemimpinan Islam dan tidak menyebarkan kesesatan kepada umat Islam. Bahkan umat Islam dilarang mendzalimi ahl al-dzimmi ini.
Berbuat baik dan bersikap bijak dengan ahl al-dzimmi tidak menghalangi Islam untuk berdakwah. Mereka tetap kita dakwahi, tapi bukan bersifat memaksa. Namun tidak ada kompromi terhadap penyimpangan agama, penistaan atau pencampuradukkan agama atas nama toleransi. Jika ada penyimpangan dan penistaan – yang bisa memancing konflik sosial – Islam segera mencegahnya, tidak boleh dibiarkan, seperti yang telah dilakukan oleh Nabi SAW dan Abu Bakar dalam keterangan di atas.
Adapun keikutsertaan seorang Muslim dalam ritual non-Muslim termasuk dalam kategori tolong-menolong dalam kebatilan, dosa, dan sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Ini bukan toleransi tapi bentuk sinkritisme. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedangkan kamu mengetahui” (QS Al-Baqarah: 42). Imam al-Thabari menukil penjelasan Imam Mujahid (murid Ibnu Abbas) mengenai maksud ayat “Dan janganlah kamu campuradukkan yang haq dengan yang batil” adalah mencampuradukkan ajaran Yahudi dan Kristen dengan Islam.
Sekarang yang harus dipahami bersama, baik umat Islam atau umat non-muslim, Islam menjamin kebebasan beragama dan mengakui kemajemukan. Tempat ibadah non-muslim dan kepercayaan aliran lain tidak boleh diganggu. Islam juga terbuka membuka dialog-dialog cerdas. Namun, jika ada aktifitas dan gerakan publik menista kesakralan, aparat harus bertindak tegas. Sebab, masing-masing agama memiliki nilai kesakralan yang jika diusik memantik emosi pengikutnya. Segala bentuk penodaan dan pelecehan nilai-nilai sakral mestinya dilarang, apalagi jika digelar secara publik. Pengikut dari agama yang dinodai jelas memiliki hak untuk melakukan pembelaan. 

Sabtu, 19 Mei 2012

Refleksi Demokrasi


Ir Soekarno mengatakan , “Di Bawah Bendera Revolusi” (1965), Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah ’pemerintahan rakjat’. Tjara pemerintahan ini memberi hak kepada semua rakjat untuk ikut memerintah. Tjara pemerintahan ini sekarang menjadi tjita-tjita semua partai nasionalis Indonesia. Tetapi dalam mentjita-tjitakan faham dan tjara pemerintahan demokrasi itu, kaum Marhaen toch harus berhati-hati. Artinya: djangan meniru sahaja ’demokrasi demokrasi’ yang kini dipraktekkan di dunia luaran….” Lebih dari empat puluh tahun yang lalu “putra sang fajar” telah mengingatkan kepada kita bahwa jangan hanya meniru sistem kerja seperti demokrasi yang dipraktekan di dunia luar. Soekarno mempunyai pandangan bahwa demokrasi ala Eropa tidak sesuai dengan kaum Marhaen di Indonesia. Demokrasi ala Eropa (demokrasi parlemen) hanya demokrasi politik saja sementara demokrasi ekonomi tidak ada. Soekarno menulis demokrasi politik saja belum menyelamatkan rakyat, oleha karena harus cari alternatif demokrasi yang sesuai dengan bangsa Indonesia. Berawal dari krisis multi dimensi, Indonesia kembali mencari demokrasi, setelah demokrasi Pancasila yang disalah artikan dengan kekuasaan oleh rezim Orde Baru.
Pasca reformasi hingga saat ini Indonesia masih dibelenggu oleh berbagai permasalahan yang tidak kunjung berakhir. Seperti yang disebutkan oleh Deutser bahwa Indonesia dihadapi oleh empat masalah besar yaitu: pemulihan ekonomi, transisi demokrasi dan reformasi politik, desentralisasi, serta pendefinisian ulang atas identitas nasional. North berpendapat bahwa setiap perubahan besar (big – bang) yang radikal berpotensi menyebabkan perubahan dalam tatanan ekonomi dan politik. Apa yang terjadi di Indonesia adalah perubahan dari suatu pekerjaan ekstrem ke keadaan ekstrem yang lain yang tidak pernah menjanjikan. Akibatnya terjadi pergeseran yang radikal dari kekuasaan yang terpusat menjadi tersebar. Pada saat yang sama perubahan yang radikal itu tidak dapat mengatasi permasalahan pada masa transisi. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kita belum menemukan bangunan pemerintah yang dapat bekerja secara efektif dalam memecahkan masalah. Sejauh ini, institusional set-up dalam disain demokrasi yang diterapkan di Indonesia yang lebih berhaluan liberal, mengalami berbagai hambatan serius. Dalam kasus Indonesia, perubahan itu belum menghasilkan institusi negara atau pemerintah yang efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang begitu kompleks. Pertama mengenai representasi yang bermasalah (kasus DPD). Demokrasi tidak bisa dimajukan karena lembaga-lembaga representasi yang berkualitas belum tersedia secara memadai. Kedua partai politik sat ini cenderung oligarki. Yakni dalam tubuh partai itu, pihak yang memiliki wewenang yang besar dalam organisasi hanya orang-orang sama dan tertentu saja Pencapaian pada fase kedua tahapan reformasi justru mengejutkan. Demokrasi yang kita selenggarakan ternyata belum mampu menjawab problem bangsa ini secara signifikan, tepat, dan menyentuh akar masalah. Mengutip pendapat Arie Sujito bahwa “kita belum memanen demokrasi sesungguhnya untuk negara berkembang seperti Indonesia yakni: rakyat yang sejahtera, politik yang demokratis, kekuasaan yang bebas KKN, demokratisasi hubungan sipil militer dan penegakan hukum yang kokoh”. Hal ini disebabkan karena kecenderungan proses demokratisasi di Indonesia hanya mengadopsi lembaga dan aturan main demokrasi barat tapi penerapannya masih disesuaikan dengan kondisi setempat. Seringkali relasi kekuasaan antara aktor politik tidak didasarkan atas faktor strategis rasional tapi diselubungi oleh faktor-faktor lain, seperti primordial (etnisitas), relijiusitas, dan sebagainya. Alasan ini diperkuat oleh L.H.M Ling dan Chih-yu Shih bahwa : “Demokrasi di Asia Tenggara adalah produk yang bercampur antara nilai lokal dan nilai demokrasi liberal. Asia Tenggara meminjam institusi dan norma politik Barat tapi penerapannya berdasarkan kondisi lokal. Implikasinya, negara mengatur banyak hal, teknokratis, dan mengatur diskursus politik di masyarakat. (Ling dan Shih, 1998 : 1)
Namun yang menjadi persoalan adalah ketika demokrasi itu tidak diikuti oleh pemerataan hasil pembangunan ekonomi dan kesejahteraan maka akan menjadi bumerang, karena pertumbuhan ekonomi susah dicapai dan akhirnya peciptaan lowongan kerja yang baru sangatlah minim dimana hampir dapat dikatakan negatif. Sebab transisi demokrasi di Indonesia dihadapkan pada masalah sosial dan ekonomi yang akut. Bukankah tujuan kita memilih demokrasi sebagai sistem sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles adalah untuk good life. Kalau begitu apakah demokrasi merupakan sistem yang paling terbaik di dunia? Demokrasi hanya sekedar menawarkan peluang bukan kepastian atau jaminan keberhasilan. Lalu bagaimana dengan nasib demokrasi kita pasca reformasi? Nampaknya kita mulai dijangkiti penyakit kegamangan demokrasi yang dapat berujung pada frozen Democracy. Apa itu frozen democracy? George Sorensen memperkenalkan konsep demokrasi beku yang menggambarkan kondisi masyarakat dimana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada. Proses demokrasi mengalami pembusukan dikarenakan ketidak mampuan pemerintah yang berkuasa melakukan perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan reformasi, terutama yang menyangkutr kepentingan dan perbaikan nasib masyarakat miskin. John Markoff dalam bukunya Gelombang Demokrasi Dunia (2002) menyebutkan empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku yaitu: kondisi perekonomian yang tak kunjung membaik, mandeknya pembentukan masyarakat sipil, konsolidasi sosial politik yang tak pernah mencapai soliditas, dan penyelesaian sosial politik hukum masa lalu yang tak kunjung tuntas. Bukan bermaksud mengadili tapi nampaknya apa yang disebutkan John Markoff rupanya sedang terjadi di Indonesia. Pasca reformasi kondisi perekonomian makin tidak menentu, pengangguran dan orang miskin semakin banyak.
Masyarakat sipil tumbuh tetapi tidak disertai dengan ketertiban sosial dan keberadaban masyarakat. Kebebasan sipil yang dijamin konstitusi tidak punya arti bagi kelompok minoritas. Rupanya apa yang menjadi kekhawatiran bagi Fareed Zakaria (editor News week International) menjadi relevan. Demokrasi menjadi tidak liberal. Kebebasan politik mendapat tempat, tetapi kebebasan sipil (civil liberties), khususnya kebebasan beribadah kelompok minoritas, justru terancam (baca kasus ahmadiyah). Alih-alih mengharapkan terjadi konsolidasi, yang terjadi malah fragmentasi dikalangan elite. Hal ini tercermin dari model pemberantasan korupsi “tebang pilih” yang sarat dengan kepentingan dikalangan elite politik. Problem politik dan hukum dimasa lalu masih menyandera bangsa Indonesia (kasus Alm soeharto). Penyelesaian masalah hukum yang melibatkan aktor-aktor dimasa orde baru yang terlibat korupsi dan melanggar HAM mengalami kebuntuan. Aktor-aktor yang turut mencicipi lezatnya kue pembangunan sedang asik mencuci tangan. Mengacu pada empat indikator di atas boleh jadi Indonesia sedang menuju ke arah demokrasi yang beku. Demokrasi yang tidak memberi makna apa – apa bagi bangsanya. Ketika demokrasi dihadapkan pada berbagai masalah seperti kemiskinan, pengangguran dll maka pilihan terhadap demokrasi disalahkan. Lalu apa yang salah dengan demokrasi Indonesia? Apakah sistem demokrasi kita benar-benar lamban dalam merespons terhadap isu-isu yang ada atau kelambanan itu memang berasal dari para aktor-aktor atau elite yang jumlahnya tidak melebihi dari penonton sepakbola. Perilaku politik elit menjadi variabel yang signifikan dalam menjelaskan transisi ke demokrasi. Bahwa tumbuhnya demokrasi sangat dipengarubi oleh kemampuan para politisi atau elit untuk menghasilkan reformasi ekonomi dan inovasi kelembagaan dalam rangka mengatasi kendala lingkungan struktural yang ada Lucian W Pye meyakini bahwa demokratisasi akan sangat ditentukan oleh keberadaan politisi populer yang merupakan elit dalam suatu kekuatan masyarakat politik. Politisi populer ini menjadi the critical key to democracy karena merekalah yang menjalankan fungsi artikulasi dan pengelompokan kepentingan masyarakat serta memfasilitasi modernisasi dan demokratisasi sehingga dapat menghindarkan ketegangan maupun konflik di masyarakat Robert Dahl dalam buku On Democracy (1999) menyebutkan persyaratan penting bagi demokrasi, antara lain pengawasan militer/polisi oleh pejabat sipil, keyakinan demokrasi dan kebudayaan politik, serta tidak ada kontrol asing yang memusuhi demokrasi.
Mengutip pendapat Jack Snyder dalam buku Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (2003), bahwa “demokrasi Indonesia belumlah matang”. Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia yang dipresentasikan pada Mei 2006 mengonfirmasi keraguan orang akan demokrasi. Survei itu menunjukkan pandangan: demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik mencapai 72 persen. Padahal, di negara demokrasi yang sudah mapan dukungan terhadap demokrasi sebagai sistem terbaik rata-rata 84 persen. Pada tahun yang sama hanya 62 persen responden yang puas dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Untuk menjalankan sistem politik demokrasi dibutuhkan sosok yang mampu mengarahkan ke mana demokrasi akan dibawa. Yaitu seorang yang mempunyai pemahaman mengenai demokrasi, visi yang benar mengenai demokrasi, memiliki cara komunikasi politik yang penuh empati, serta mempunyai kecerdasan akademik dan emosional untuk membawa Indonesia ke dalam sistem politik demokratis. Demokrasi bukan hanya untuk demokrasi, tetapi demokrasi untuk good life. Apa yang menjadi cita-cita seperti yang tertera pada Pembukaan UUD 1945 itu harus dicapai dengan jalan demokrasi. Karena demokrasi bukan sekedar masalah kebebasan dan prosedur melainkan substansi. Kalau begitu apakah Indonesia butuh demokrasi? Mari kita refleksikan bersama!

Jumat, 18 Mei 2012

kebebasan adalah hak individual

''Anda sebaiknya sebelum melihat wanita lebanon, alangkah baiknya melihat wanita negara lain,,, kata seorang kawan.. .. " sambil menunggu ikan yang sedang dibersihkan penjual. Jumah ini memang terasa sangat panas terik matahari yang tak seperti biasanya.. membuat kami berdua kebakar. Seorang penjual arab dengan semangatnya membersihakn ikan pesanan kami, "dua kilo aja pak..  "kata saya"
berapa? 15.000 LL "kata penjual dengan semangatnya.. Entah kenapa siang itu ingin sekali rasanya kuah pindang.. Heeemm.. kuah pindang, masakan andalan saat dilampong. Saling tatap kami berdua, berlalu 1, 2, 3.. cewek2 lebanaon. dengan tiupan angin yang segar.. putihnya badan berkilauan postur tubuh yang aduh..hai.. " jika ingat kawan aku didesa, "sangat jahil terhadap semua cewek" virus BABON"  kami menjulukinya.
Ataukah memang mata akau yang rabun sehingga aku melihat seperti bidadari yang baru saja berlalu.. oh.. ya.. salaamm" dalam hati aku....
BB tak pernahy lepas dari jari jempol kawan aku,,, entah apa saja yang dia ketik. Sedikit melihat BB sedikit melihat sekitar. "apa gak kemeng??? (capek_jawa)
Satu yang  menjadi perhatianku adalah, kebebasan expresi. Melihat bagaimana cara seseorang berpakaian, bergaul, menunjukan adanya sebuah kebebasan. baik kebebasan dalam artian nyaman, aman atau kebebasan dalam mengexpresikan diri. Seoalah-olah semua sadar bahwa itu memang hak dia selah dalam diri orang lain bisa dikatakan itu sudah biasa. 
Jika saja ini terjadi dinegara kita yang notabennya  dalah Islam terbesar didunia yang Demokratis sangat rancu jika selalu bertengkar atas dasar perbedaan.. !!